Cerpen kesekian (Jelek, maksa)

Api Unggun

 “Aku tuh nggak mau ikut acara itu,ma! Acara camping 1 ) kayak gitu tuh kan buat capek, susah kalau mau mandi, makan, tidur juga. Acaranya se-Indonesia lagi, pasti  ramai sekali. Aku di rumah aja ya, ma….” Rengekku malam itu kepada mama karena tak mau mengikuti acara camping bersama yang diadakan di Jakarta dan yang dihadiri peserta seluruh Indonesia. “Lagi pulo ambo kan dari daerah kecik, ma… Dari Curup, kelak orang kota tu ngejek-ngejek ambo.” 2)  Omelku kepada mama. Dengan lembut mama menjawab, “Naaakk…nakkk… dak adolah orang tu cak itu. Kito kan jadi umat beragama tu di ajarkan untuk saling menghormati.” 3) Jawab mamaku dengan bahasa sehari-hari daerah Curup. “Bener kata ibumu, nak… Jangan berprasangka buruk dengan orang yang belum kamu kenal, mereka pasti tidak seperti yang kamu bayangkan.” Sambung papa dengan logat jawanya yang lembut. “Camping ini akan mendidik kamu jadi anak yang disiplin dan mandiri, Lany…” Sahut mama lagi menambahkan. Aku yang kesal dan jengkel tidak lagi bisa berbicara apa-apa. Seakan terjatuh dari lantai 25 apartemen, aku tak berdaya untuk membantah mama lagi bak Malin kundang yang durhaka. “Iya, deh… Lany ikut dalam acara itu. Laura juga ikut kan, ma?” jawabku dengan nada bayi mungil semata wayang nan manja. “Iya, tadi mama Laura udah bilang ke mama, kalian ke Jakarta lusa naik pesawat pagi.” Tegas mama. “Oke mama sayang….” Jawabku sembari berlari dan mencium pipi mama yang kayak bakpao 4). “Dasar anak zaman sekarang!” Cetus mama sambil menggelengkan kepala dan tersenyum kecil bersama papa.
Lak, kito jadi pai ke jakarta? Ai, sbenarnyo male nian ambo, lah… tapi mama ambo makso nian.” 5) Tanyaku kepada Laura yang duduk di samping kursiku, aku pun sambil membereskan buku mata pelajaran yang baru saja selesai. “Jadi, lah… ngapo kau dak ndak pai? Ambo ndak eh, sambil cari pengalaman.”6) Jawab Laura dengan nada tingginya dan dengan semangat mbah Marijannya. “Iyo…iyo… ambo ikut, lak….”7)
Dengan air mata yang membanjiri kamar aku menyusun pakaian untuk pergi besok pagi. Seakan tak ingin melihat matahari yang tak pernah absen untuk memberikan senyum paling manis. Terdengarlah deraian air mata itu oleh sesosok jiwa bak malaikat yang tersenyum sembari membuka pintu kamarku. “Loh, kok Lany sedih? Kan besok mau ke Jakarta? Takut kangen mama, ya? Hehe… mama kan ada di rumah, Lany juga kan perginya cuma beberapa hari.” Peluk mama sambil mengusap air mataku. “Hiks…hiks… iya, ma… Lany nggak akan sedih lagi.”
“Lany, Laura udah di siap, tuh… ayo, nanti kalian ketinggalan pesawat.” Teriak papa dari bawah tangga kearah kamarku. “I’m coming, dad…”8) jawabku sambil menuruni tangga. “Sampai ketemu lagi sayang… jaga diri baik-baik ya…” ujar mama sambil mengusap rambutku hingga setengah kusut. “Ya,ma… doakan agar semuanya berjalan dengan baik ya....” Sahutku sambil memeluk mama lagi.
Wooowww!!! Luas banget!!! kita harus jalan mana, nih?” Seru Laura yang amat takjub melihat lapangan camp yang amat luas dan dihadiri ribuan orang dari seluruh Indonesia. “Ya ampun? Dan nggak ada seorang pun yang kita kenal! Aku nggak suka ada di sini!” Aku menggerutu dan terus menyalahkan papa dan mama di dalam hatiku. Di pikiranku hanya ada 3 kata, AKU INGIN PULANG! “Lany, kita baru aja nyampe, kok kamu udah mau pulang aja? Nikmati lah apa yang ada.”
“Ada yang bisa dibantu? Kontingen dari mana?” terdengar suara terseksi abad ini yang kudengar dengar dengan diiringi bergetarnya seluruh tubuhku, suara yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Lembut, sedikit serak, dan….  Ya, Tuhan… kenapa ini? Wajahnya, memberiku kesejukan bagaikan embun, tatapannya seakan memberikan semangat untuk tetap di sana, mungkin untuk waktu yan lebih lama lagi. Melihatnya seakan melihat Sahrul Khan bintang Bolywood yang paling aku gemari. Ia menari sambil bersembunyi di balik-balik pepohonan dan berusaha mengajakku untuk ikut bernyanyi. “Ya, dimana tenda kami? Kami kontingen dari Bengkulu.” Cetus Laura membangunkan lamunanku. “Oh, dari Bengkulu? Silahkan memasuki tenda nomor 32. Tendanya berada di dekat tenda UKS.” Jawab pangeran berkumis tipis itu sambil menunjuk ke arah UKS. “Oke terima kasih, mas…” Jawab Laura, si mas yang seolah memakai baju Jawa di tambah blangkon itu, dengan kulit yang sawo matang, ternyata memiliki senyum yang manisnya melebihi sari manis cap Jempol yang sering dipakai oleh penjual es lilin di sekolah. Aku hanya tercengang dan tidak bisa melakukan apa-apa.

When I saw you, I saw love
And  first time you touched me, I felt love
And after all this time,
You are still the one I love

Lirik  lagu Shania Twain itu kurasa lagu yang paling tepat untuk mewakili semua perasaanku saat ini. Saat jam istirahat, aku tersenyum sendiri di tenda sambil melamunkan pangeran kodok yang pakai jubah kebesaran merah itu. “Lany! Kok senyum-senyum sendiri, sih? Bagi-bagi, dong! Cie… ada yang kamu suka, ya? Kasih tau, dong…” Cerocos Laura yang berusaha menggodaku. “Mau tau aja, sih… nanti kalau ketemu aku kasih tau.” Jawabku dengan tersipu malu,
 Aku melewatkan sesi demi sesi dalam acara itu dengan sempurna. Aku sangat bersemangat melakukan semuanya jauh dari apa yang aku prediksi sebelumnya. Aku memang di tempa menjadi wanita yang mandiri di sini. Ada kebersamaan yang luar biasa. Aku seakan menemukan oase di tengah padang gurun yang amat luas. Semuanya itu aku rasakan hingga Laura berkata, “Lany, lihat cowok yang di sana itu. Cakep, ya…” Laura menunjuk ke arah pangeran kodokku. Apa? Laura, sahabatku, juga naksir sama Sahrul Khanku? Apa yang harus aku lakukan? “Aku udah kenalaln loh sama dia… namanya Joni.” Ternyata Laura pun udah nyuri start untuk kenalan sama mas ganteng itu. Hatiku hancur, tapi aku tak mengatakan itu kepada Laura. Aku menjawabnya dengan setengah suara, “Iya, ia sangat tampan. Kau beruntung kenal dengan dia. Semoga kau bisa lebih dekat dan saling mengenal.” “Kau memang temanku yang paling baik, Lan…Makasih, ya…” Senyum terindah keluar dari wajah Laura yang amat bahagia saat itu.
Aku seolah jatuh ke jurang yang di dalamnya berisi sejuta jenis ular. Tuhan, apakah ini yang namanya patah hati? Begitu menyakitkan. Semua yang aku lakukan terasa salah. Tidur nggak bisa, nafsu makan tak ada. Haaddduuuhhh… kenapa bisa begini ya? Di hari terakhir camp aku harus merasakan hal ini.

Hancur, hancur, hancur hatiku
Hancur, hancur, hancur hatiku
Hancur, hancur, hancur hatiku
Hancur, hancur, hancur hatiku

            “Mana temanmu yang mau kau kenalkan padaku, Laura?” Suara itu menyentak lamunanku, Suara yang kukenal, yang memberiku kesejukan embun itu terdengar dari luar tenda. Aku cepat-cepat menghapus air mataku. “Lany!” panggil Laura memasuki tenda. “Aku mau mengenalkan kau dengan teman Joni, sepertinya dia tertarik padamu. Cepatlah! Sebentar lagi akan dimulai acara api ungun. Jangan samppai kita telat.” Laura menarik tanganku. What? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak sanggup melihat ini. Berkenalan dengan dia bapak direkturku yang sebentar lagi akan memiliki Sekretaris secantik Laura. Aku tak dapat menolak ajakan Laura karena tanganku terlanjur di borgol olehnya. Aku berusaha hanya menunduk dan tak mau melihat wajah pria itu lagi, karena akan membuatku semakin sakit hati.
            “Perkenalkan, ini sahabatku, namanya Lany, Ben…” Begitu salam perkenalanku yang diwakili oleh si bawel Laura. “Oh, ini yang namanya Lany? Salam kenal ya, Lany.” Oh God? Suara itu? Suara itu adalah suara pangeran kodokku! Suara itu datang bersamaan dengan genggaman tangannya yang mengalirkan energi positif melalui telapak tanganku. Kurasa tundukanku tak lagi diperlukan sekarang. Perlahan ku angkat kepalaku, perlahan… dan perlahan… aku takut kalau terjadi kenyataan yang tak sesuai harapanku. “Namaku, Beny…” Sambil tersenyum kecil Beny membuat hatiku penuh dengan pedagang bunga, yang tiap saat akan siap sedia untuk menghiasi tiap sudut hati yang kosong. Dialah Beny! Beny yang kunanti. Ternyata dia bukan Joni yang menjadi gebetan Laura. “Dan kenalin juga, Lan… yang itu Joni. Yang aku ceritakan waktu itu.” Sambar Laura lagi. Aku seakan terbang ke langit ke-tujuh. Membawa selembar kain yang kukibarkan dengan penuh sukacita di hati. “Baiklah, kok pada bengong? Api unggun udah mau dimulai. Kita ke sana saja sekarang.” Kata Beny dengan ramah.
            Akhirnya perjalanan liburan kali ini adalah liburan buruk yang terindah di dalam hidupku. Malam itu, aku dan Beny menikmati api unggun bersama, dan Laura bersama Joni. Anggapanku tentang orang kota yang sombong tidak lagi ada. Mereka pun juga sangat ramah. Papa dan mama terima kasih ya untuk kebawelannya yang memaksaku untuk hadir di sini.





  Catatan kaki  :
1.      Camping adalah bahasa Ingris yang berarti berkemah
2.      Lagi pulo ambo kan dari daerah kecik, ma… Dari Curup, kelak orang kota tu ngejek-ngejek ambo.”
Merupakan bahasa Curup sehari-hari.
Artinya      : “lagipula saya kan dari daerah yang kecil, ma… Dari curup, nanti orang kota malah mengejek saya”
3.      Naaakk…nakkk… dak adolah orang tu cak itu. Kito kan jadi umat beragama tu di ajarkan untuk saling menghormati.”
Merupakan bahasa Curup sehari-hari.
Artinya      : “Anakku… anakku…orang kota itu tidak begitu. Kita menjadi umat beragama itu diajarkan untuk saling menghormati.”
4.      Bakpao
Merupakan makanan yang bentuknya seperti gunung, berisi daging
5.      Lak, kito jadi pai ke jakarta? Ai, sbenarnyo male nian ambo, lah… tapi mama ambo makso nian.”
Merupakan bahasa Curup sehari-hari.
Artinya      : “Lak, kita jadi pergi ke Jakarta? Aduh, sebenarnya saya malas tetapi mama saya memaksa.”
6.      Jadi, lah… ngapo kau dak ndak pai? Ambo ndak eh, sambil cari pengalaman.”
Merupakan bahasa Curup sehari-hari.
Artinya      : “Jadi, mengapa kamu tidak mau pergi? Saya mau saja, sambil cari pengalaman.”
7.      Iyo…iyo… ambo ikut, lak….”
Merupakan bahasa Curup sehari-hari.
Artinya      : “Iya… iya… saya ikut, Lak…”
8.      I’m coming, dad…”
Bahasa Inggris yang berarti “Aku datang, Ayah…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Welcome Home

'Ku Utus 'Kau (NKB. 201)

Lilin